Suaracikarang.com – Bekasi –
Persidangan tindak pidana, dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan terdakwa Naharsyah dinilai tidak kuat bukti, justru terdapat dugaan kelalaian pihak Notaris/PPTK dalam menjalankan fungsinya.
Dalam persidangan berikut beberapa saksi:
1. Wiwik Rowiyah Suparno sebagai pejabat notaris yang membuat Akte Jual Beli (AJB), (WRS)
2. Steven Juliando Sibarani (SJS)
3. Fiki Rahmat Setiawan (FRS)
4. Noris Fernando pakpahan (NFP)
5. Hendra Isnanto (HI)
Dalam persidangan saksi secara lisan menyudutkan terdakwa Naharsyah telah melakukan pemalsuan tandatangan AJB tanpa adanya bukti lain seperti foto atau video dalam penandatanganan suatu dokumen. Hal ini memicu dugaan baru adanya kelalaian dari pihak Notaris / PPTK, dalam menyaksikan dan mendokumentasikan aaat lenandatanganan antara penjual dan pembeli.
Sebelumnya, dalam pengurusan AJB pihak penjual Denny Hidayat dan irawati telah melaporkan masalah tersebut ke pihak kepolisian pasalnya dalam pengurusan balik nama SHM dengan dasar peralihan hak menggunakan AJB pihaknya tidak merasa tandatangan dan cap jari. Kronologi peristiwa:
Pada tanggal 9 desember 2019 telah disepakati jual beli tanah antara saksi Denny Hidayat (DH) selaku penjual dengan saksi Fachrainy selaku pembeli yang merupakan ibu kandung dari terdakwa Naharsyah.
Dengan sebidang tanah seluas 200 meter persegi diatas tanah tersebut terdapat bangunan rumah dengan Surat Hak Milik (SHM) atas nama DH,
SHM Penjual di tebus oleh pembeli di bank BPR dengan membayar sebesar Rp 800 juta tanpa pembeli ikut ke BPR. Selanjutnya pembeli diminta transfer lagi sebesar Rp 300 juta oleh penjual. Total Rp 1.1M.
Lanjutnya setelah masuk uang Rp 1.1M penjual baru mengatakan kalau bidang tanah seluas 216m2 yang semula ditawarkan ke pembeli adalah ajb, ternyata penjual sendiri yg menyatakan kalau ajb nya palsu.
Pihak pembeli menunda pembayaran dikarenakan belum terjadi peralihan hak pembelian tanah dari Girik ke atas nama pembeli
Pihak pembeli sangat menyesalkan pengakuan penjual dimana AJB tersebut palsu. Yang ada hanya surat Girik atas nama H Samun.
Hasil kesepakatan harga tersebut kemudian pihak pembeli telah melakukan pembayaran secara bertahap kepada DH dengan total sebesar Rp, 1,135 Miliar.
Setelah itu pada tanggal 16 desember 2019 DH bersama irawati (istri DH) menyerahkan SHM dan Girik C kepada Naharsyah dengan kesepakatan pelunasan sebesar Rp 500 juta. Dengan syarat jika surat bukti kepemilikan tanah tersebut dan dapat dilakukan peralihan hak atau balik nama menjadi atas nama pihak pembeli ( Fachrainy).
Kronologi pengurusan peralihan hak atas SHM:
Dalam pengurusan peralihan hak pihak Naharsyah dan Fachrainy selaku pembeli yang juga ibu dari Naharsyah, meminta bantuan kepada saksi SJS, kemudian saksi SJS juga meminta bantuan ke saksi NFP dengan menyerahkan beberapa dokumen guna untuk mengurus peralihan hak.
Setelah itu saksi NFP meminta bantuan ke saksi FRS dengan mengirim dokumen yang telah diterimanya untuk persyaratan dalam mengurus peralihan hak. Namun karena FRS tidak bekerja di kantor Notaris, sehingga saksi FRS meminta bantuan kepada saksi HI yang bekerja di kantor notaris /PPAT saksi WRS untuk pengurusan peralihan hak atas SHM.
Fakta Persidangan :
Terdakwa Naharsyah menerangkan pada saat akan dibuat perjanjian jual beli pihak penjual (DH) menunjukan SHM tanah seluas 200 meter persegi (bagian depan) dan AJB untuk tanah seluas 216 meter persegi (tanah belakang). Saat penyerahan dokumen tersebut, disertai dengan kunci rumah secara sukarela.
Dalam kesepakatan harga kedua bidang tanah tersebut dengan harga Rp 1.6 miliar, pihak pembeli telah membayar melalui transfer sebesar 1,135 Miliar.
Naharsyah dimana sebagai anak dari pembeli ( Fachrainy) menyesalkan adanya informasi bahwa AJB tanah seluas 216 meter persegi yang dimiliki DH tersebut palsu, dan dirinya mengetahui AJB tersebut palsu setelah melakukan pembayaran sebesar Rp 1.135 Miliar.
Reporter Tim suara Cikarang fajri




